Perayaan Imlek memiliki sejarah tersendiri di Indonesia. Pada masa orde lama atau masa Bung Karno, perayaan Tahun Baru Imlek boleh dilakukan seperti pada umumnya. Pada masa orde baru atau masa Soeharto, perayaan Tahun Baru Imlek masih boleh dirayakan tetapi tidak boleh dilakukan di depan umum, harus dilakukan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi. Hal ini seiring dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala sesuatu yang berkaitan dengan Tionghoa termasuk diantaranya perayaan Tahun Baru Imlek. Kebebasan melakukan perayaan Tahun Baru Imlek pun kembali didapatkan pada masa setelah reformasi dengan dicabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tersebut, yaitu pada masa Abdurrahman Wahid. Tidak hanya sampai disitu peranan presiden, yang merupakan alumni sebuah pondok pesantren, terhadap perayaan Tahun Baru Imlek di tanah air, yaitu pada tanggal 9 April 2001 diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hari libur yang hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Kemudian pada masa Megawati, Imlek resmi menjad hari libur nasional yang mana dimulai dari tahun 2003.
Perayaan Tahun Baru Imlek sendiri merupakan sebuah perayaan yang sangat berkaitan erat dengan tradisi Masyarakat Tionghoa. Berikut ini saya akan menjelaskan serba-serbi mengenai Imlek :
Pada zaman dahulu di Tiongkok, orang-orang Tiongkok menganut agama Ru Jiao yaitu agama yang dibawa oleh raja-raja suci zaman purba. Raja suci tersebut antara lain Fu Xi (3500 SM), Yao (2300 SM), Shun (2225 SM), Yu, Wen Wang, dan Zhou Gong. Ajaran Ru Jiao ini memiliki beberapa rumah ibadah yang disebut Miao atau Bio (Miao dalam bahasa Indonesia disebut Kelenteng). Hal ini tidak lepas dari kewajiban untuk mendirikan kelenteng bagi siapa-siapa yang baru naik tahta atau dilantik dalam suatu jabatan tertentu, yaitu :
Perayaan Tahun Baru Imlek sendiri merupakan sebuah perayaan yang sangat berkaitan erat dengan tradisi Masyarakat Tionghoa. Berikut ini saya akan menjelaskan serba-serbi mengenai Imlek :
SEJARAH
Pada zaman dahulu di Tiongkok, orang-orang Tiongkok menganut agama Ru Jiao yaitu agama yang dibawa oleh raja-raja suci zaman purba. Raja suci tersebut antara lain Fu Xi (3500 SM), Yao (2300 SM), Shun (2225 SM), Yu, Wen Wang, dan Zhou Gong. Ajaran Ru Jiao ini memiliki beberapa rumah ibadah yang disebut Miao atau Bio (Miao dalam bahasa Indonesia disebut Kelenteng). Hal ini tidak lepas dari kewajiban untuk mendirikan kelenteng bagi siapa-siapa yang baru naik tahta atau dilantik dalam suatu jabatan tertentu, yaitu :
- Raja yang baru naik tahta diwajibkan mendirikan 7 kelenteng.
- Gubernur yang baru dilantik diwajibkan membangun 5 kelenteng.
- Residen yang baru dilantik diwajibkan membangun 3 kelenteng.
Meskipun memiliki banyak tempat ibadah, agama Ru Jiao ini belum memilik kitab suci sehingga ajarannya hanya dipelajari seperti layaknya dongeng yang diketahui dari mulut ke mulut. Bahkan penjaga Miao atau kelenteng sendiri tidak mengetahui dengan jelas tentang ajaran Ru Jiao dan hanya mengetahui tentang tata cara sembahyang yang benar. Dengan sistem pembelajaran seperti ini, agama Ru jiao tidak mampu meciptakan kedamaian dan keharmonisan sehingga timbullah kekacauan. Hal ini tepatnya terjadi beberapa puluh tahun setelah Zhou Gong turun tahta dari menjadi raja hingga datangnya Nabi Khongcu (551-479 SM) sebagai utusan Tuhan untuk menentramkan kekacauan tersebut. Beberapa hal yang dilakukan Nabi Khongcu antara lain menyusun ajaran agama Ru Jiao dalam Enam Jilid Kitab yang disebut Liu Jing atau Enam Kitab Suci Ru Jiao, mendirikan sekolah gratis dengan 3.000 murid, menata kembali struktur altar kelenteng dengan adanya altar untuk Thi Kong atau altar Tuhan YME di bagian paling depan dari kelenteng agar sesuai dengan ajaran Ru Jiao, dan membuat kalender agar umat Ri Jiao dapat melakukan upacara sembahyang di waktu yang tepat (kalender ini nantinya menjadi kalender imlek).
Dalam menyusun kalender imlek ini, Nabi Khongcu menggunakan kalender Xia karena sesuai untuk pekerjaan petani. Nabi Khongcu tidak sepenuhnya berpedoman kepada kalender Xia tetapi juga menambahkan pada kalender tersebut agar sesuai dengan waktu untuk melakukan upacara besar. Dalam kalender Xia sendiri ditetapkan bahwa pergantian tahun jatuh pada tanggal 4 Bulan Februari tetapi Nabi Khongcu menetapkan pergantian tahun bisa maju atau mundur dari tanggal 4 Bulan Februari tetapi tidak lebih dari 15 hari.
Perayaan Tahun Baru Imlek ini tentunya tidak lepas dari mitos yang telah melekat kuat pada kepercayaan Masyarakat Tionghoa. Menurut mitos tersebut, disebutkan bahwa pada zaman dahulu terdapat Nian yaitu seekor raksasa dari pengunungan (ada juga yang menyebutkan berasal dari bahwa laut) yang selalu muncul di akhir musim dingin untuk memangsa hasil panen, ternak, dan bahkan penduduk desa. Agar Nian tersebut tidak memangsa penduduk desa, di depan pintu rumah disediakan makanan dengan harapan bahwa Nian tersebut akan memakan makanan yang telah disediakan tersebut dan tidak memangsa hasil panen, ternak, dan penduduk desa. Hingga suatu waktu penduduk desa mengetahui bahwa Nian tersebut lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang memakai pakaian yang berwarna merah. Sejak saat itu penduduk desa akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu rumah mereka. Selain itu penduduk desa juga mengetahui bahwa Nian juga takut terhadap bunyi yang keras. Oleh karena itu, selain menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah, penduduk desa juga memukul gong, beduk, dan membakar bambu (sejak ditemukan mesiu diganti dengan petasan) untuk mencegah datangnya Nian tersebut. Nian pun tidak pernah datang kembali ke desa penduduk dan pada akhir cerita Nian tersebut ditangkap oleh Hongjun Laozu, seorang Pendeta Tao, yang kemudian menjadikan Nian tersebut sebagai kendaraannya.
Sementara itu Tarian Barongsai yang sering dimainkan dalam perayaan Tahun Baru Imlek tersebut, mempunyai cerita tersendiri. Menurut bahasa Tionghoa, kata Sai mempunyai arti Singa dan dianggap sebagai raja dari para binatang. Pada zaman dahulu di setiap rumah pejabat pasti terdapat dua patung singa. Hal ini dipercaya bahwa dua patung singa tersebut dapat mengusir kejahatan dan membawa keselamatan. Disamping itu, dua patung singa tersebut dapat dijadikan sebagai lambang kemegahan dan membawa kebahagiaan serta rezeki. Sementara itu menurut salah satu tokoh Konghucu, Budi Santosa Tanuwibawa, mengatakan bahwa atraksi barongsai terinspirasi dari Kilin, makhluk suci bagi umat Konghucu. Rupanya menyerupai naga, memiliki kulit bersisik, dan bertanduk satu. Kilin muncul ketika Nabi Konghucu lahir dan wafat. Menurut cerita-cerita rakyat yang populer di China, atraksi barongsai ini bertujuan untuk mengusir roh jahat yang datang di awal tahun. Oleh karena itu, pada saat ini dalam menyambut Tahun Baru Imlek Masyarakat Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek dengan membakar petasan dan atraksi barongsai yang bertujuan untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik.
Angpao atau hanzi yaitu amplop merah kecil yang berisikan sejumlah uang. Sebenarnya angpao ini tidak hanya ada dalam perayaan Tahun Baru Imlek, tetapi juga terdapat dalam perayaan yang bernuansa bahagia seperti pernikahan, ulang tahun, dan memasuki rumah baru. Hal ini dikarenakan angpao bermakna kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik. Ada yang mengatakan bahwa pada zaman dahulu agar mendapatkan angpao dari orang tuanya, seorang anak harus sujud dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai serta mendoakan orangtuanya tersebut agar diberikan kesehatan, kesejahteraan, dan berkat yang banyak. Hal ini juga berlaku untuk mendapatkan angpao dari paman dan bibi. Sekarang ini tradisi tersebut telah berubah, untuk mendapatkan angpao seorang anak hanya perlu menyalami dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai serta mendoakan orangtuanya tanpa harus bersujud. Meskipun demikian, masih terdapat juga Keluarga Tionghoa yang melestarikan tradisi tersebut.
Berikut merupakan fakta yang terkait dengan angpao :
Dalam menyusun kalender imlek ini, Nabi Khongcu menggunakan kalender Xia karena sesuai untuk pekerjaan petani. Nabi Khongcu tidak sepenuhnya berpedoman kepada kalender Xia tetapi juga menambahkan pada kalender tersebut agar sesuai dengan waktu untuk melakukan upacara besar. Dalam kalender Xia sendiri ditetapkan bahwa pergantian tahun jatuh pada tanggal 4 Bulan Februari tetapi Nabi Khongcu menetapkan pergantian tahun bisa maju atau mundur dari tanggal 4 Bulan Februari tetapi tidak lebih dari 15 hari.
PETASAN DAN BARONGSAI
Sementara itu Tarian Barongsai yang sering dimainkan dalam perayaan Tahun Baru Imlek tersebut, mempunyai cerita tersendiri. Menurut bahasa Tionghoa, kata Sai mempunyai arti Singa dan dianggap sebagai raja dari para binatang. Pada zaman dahulu di setiap rumah pejabat pasti terdapat dua patung singa. Hal ini dipercaya bahwa dua patung singa tersebut dapat mengusir kejahatan dan membawa keselamatan. Disamping itu, dua patung singa tersebut dapat dijadikan sebagai lambang kemegahan dan membawa kebahagiaan serta rezeki. Sementara itu menurut salah satu tokoh Konghucu, Budi Santosa Tanuwibawa, mengatakan bahwa atraksi barongsai terinspirasi dari Kilin, makhluk suci bagi umat Konghucu. Rupanya menyerupai naga, memiliki kulit bersisik, dan bertanduk satu. Kilin muncul ketika Nabi Konghucu lahir dan wafat. Menurut cerita-cerita rakyat yang populer di China, atraksi barongsai ini bertujuan untuk mengusir roh jahat yang datang di awal tahun. Oleh karena itu, pada saat ini dalam menyambut Tahun Baru Imlek Masyarakat Tionghoa merayakan Tahun Baru Imlek dengan membakar petasan dan atraksi barongsai yang bertujuan untuk mengusir segala yang jahat dan menyambut segala yang baik.
ANGPAO
Angpao atau hanzi yaitu amplop merah kecil yang berisikan sejumlah uang. Sebenarnya angpao ini tidak hanya ada dalam perayaan Tahun Baru Imlek, tetapi juga terdapat dalam perayaan yang bernuansa bahagia seperti pernikahan, ulang tahun, dan memasuki rumah baru. Hal ini dikarenakan angpao bermakna kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik. Ada yang mengatakan bahwa pada zaman dahulu agar mendapatkan angpao dari orang tuanya, seorang anak harus sujud dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai serta mendoakan orangtuanya tersebut agar diberikan kesehatan, kesejahteraan, dan berkat yang banyak. Hal ini juga berlaku untuk mendapatkan angpao dari paman dan bibi. Sekarang ini tradisi tersebut telah berubah, untuk mendapatkan angpao seorang anak hanya perlu menyalami dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai serta mendoakan orangtuanya tanpa harus bersujud. Meskipun demikian, masih terdapat juga Keluarga Tionghoa yang melestarikan tradisi tersebut.
Berikut merupakan fakta yang terkait dengan angpao :
- Hanya orang yang sudah menikah yang bisa memberikan ang pao pada anak-anak.
- Seorang anak harus memberikan angpao pada orang tuanya setelah dia mempunyai keluarga alias sudah menikah.
- Seseorang yang sudah berkerja namun masih belum menikah, tidak diperbolehkan memberikan angpao kepada orang lain karena dianggap menjauhkan jodoh.
- Anak yang sudah memiliki pekerjaan masih tetap menerima angpao dari orang tua, paman, dan bibi.
- Anak yang sudah menikah tetap menerima angpao tapi hanya dari orang tuanya.
- Tidak boleh mengisi angpao dengan jumlah uang yang mengandung angka 4 seperti Rp 4.000 karena angka 4 berarti mati.
- Jumlah uang tidak boleh ganjil karena berhubungan dengan pemakaman.
- Kata-kata pada angpao biasanya berupa kata keberuntungan, kemakmuran, dan umur panjang yang berarti doa dari pemberi angpao.
- Ang pao sekarang dihasilkan dengan menggunakan alat percetakan offset bukan handmade lagi.
GONG XI FA CAI
PERAYAAN IMLEK
Meskipun masih terdapat pertanyaan yang timbul apakah Tahun Baru Imlek itu berasal dari agama atau kebudayaan, pada praktiknya Tahun Baru Imlek dirayakan oleh seluruh Masyarakat Tionghoa apapun agamanya. bahkan menurut Sidharta, Ketua Walubi, Masyarakat Tionghoa Muslim juga merayakan Tahun Baru Imlek. Hari Raya Imlek ini dalam bahasa Cina disebut Chung Ciea yang berarti Hari Raya Musim Semi. Di Tiongkok sendiri, adat dan tradisi antar wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Imlek sangat beragam. Isi dan cara merayakan Tahun Baru Imlek pun juga mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu.
Ada yang menyebutkan bahwa berdasarkan buku kuno, perayaan Tahun Baru Imlek secara tradisi telah dirayakan di Tiongkok pada 4699 tahun yang lalu oleh raja pertama Huang Ti. Prosesi perayaan Tahun Baru Imlek dimulai dari tanggal 23 bulan 12 Imlek dengan melakukan sebuah ritual yang disebut Cap Ji Gwee Jie Shie dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama Imlek dengan adanya hari Cap Goh Meh. Kebanyakan masyarakat awam yang bukan termasuk Masyarakat Tionghoa menganggap bahwa perayaan Tahun Baru Imlek hanya berlangsung pada malam tanggal 30 bulan 12 Imlek seperti layaknya perayaan Tahun Baru Masehi. Hal ini wajar karena pada malam pergantian tahun tersebut merupakan hari perayaan yang paling meriah meskipun akhir dari prosesi perayaan Tahun Baru Imlek masih jatuh pada hari Cap Goh Meh yaitu pada tanggal 15 bulan pertama Imlek. Malam pergantian tahun ini sendiri dalam bahasa Tionghoa disebut chuxi. Berikut ini akan dijelaskan rangkaian acara perayaan Tahun Baru Imlek mulai dari Cap Ji Gwee Jie Shie hingga Cap Goh Meh :
1. TUJUH HARI SEBELUM TAHUN BARU IMLEK.
Seperti masyarakat pada umumnya dalam menyambut hari raya, Masyarakat Tionghoa pun juga disibukkan dengan berbagai kegiatan dalam rangka menyambut datangnya Tahun Baru Imlek. Secara tradisi kegiatan persiapan ini diisi dengan aktivitas untuk membuat menjadi baru. Hal ini tidak lepas dengan filosofi Yik Nien Fuk Se, Wan Siang Keng Sin yang artinya “datangnya tahun baru, mengubah segalanya menjadi baru”. Hal ini dilakukan antara lain dengan membersihkan rumah, membeli meja atau kursi baru untuk menyambut tamu yang bersilahturahmi, dan menghias rumah dengan hiasan-hiasan tahun baru yang terbuat dari guntingan kertas merah. Selain itu Masyarakat Tionghoa juga mempunyai tradisi unik lainnya, seperti membersihkan sejumlah patung di dalam kelenteng. Masyarakat Tionghoa percaya membersihkan kelenteng itu sama saja maknanya dengan membersihkan diri dari segala hal. Selain menghias rumah dan membersihkan kelenteng, mereka juga menghias dan mendandani diri dengan pakaian baru dan semangat baru.
Dalam penyambutan ini juga terdapat suatu ritual yang dinamakan Cap Ji Gwee Jie Shie atau sering juga disebut dengan Shang Sheng, yang dilakukan pada tanggal 23 bulan 12 Imlek. Pada ritual ini, Masyarakat Tionghoa secara tradisi menyalakan puluhan hio (dupa bergagang) yang tingginya tiga meter di klenteng. Sementara bagi yang tidak mampu membeli hio tersebut, ritual tersebut cukup dilakukan dengan hio biasa, minyak nabati, sesaji buah-buahan, kue serba manis, lilin kecil, dan pembakaran hu (kertas merang bergambar kuda terbang).
2. MALAM IMLEK.
Pada malam Imlek (malam sebelum Tahun Baru Imlek) atau yang juga disebut Chu Si Ye atau Chuxi (dalam bahasa Tionghoa berarti mencabut malam terakhir supaya menyongsong kedatangan tahun yang baru), akan diadakan kumpul bersama seluruh anggota keluarga untuk melakukan makan malam sekeluarga atau Thuan Yen Fan. Apabila terdapat anggota keluarga yang tidak dapat pulang ke rumah untuk melakukan makan malam bersama, maka di meja akan tetap disiapkan mangkok dan sepasang sumpit sebagai perwakilan bagi anggota yang tidak dapat pulang tersebut. Pada acara makan malam bersama tersebut, dibicarakan rencana yang akan dilakukan di tahun mendatang dan harapan-harapan setiap anggota keluarga tersebut. Makanan yang dihidangkan dalam makan malam bersama tersebut biasanya merupakan makanan favorit keluarga. Meskipun demikian, terdapat juga beberapa makanan yang biasanya dihidangkan karena memiliki makna tersendiri, antara lain :
- Sayur yang disajikan dengan cukup banyak seperti Kiau Choi, memiliki makna panjang umur.
- Ayam rebus utuh, memiliki makna kemakmuran untuk keluarga.
- Ikan yang dihias dan akan dimakan, memiliki makna Nien nien yeu yi atau setiap tahun ada lebihnya.
- Ikan dingkis bertelur yang dikukus (hidangan istimewa), memiliki makna membawa keberuntungan di tahun mendatang.
- Bakso ikan, bakso udang dan bakso daging, memiliki makna San Yuan atau tiga jabatan (jabatan yang sangat dihormati Masyarakat Tionghoa pada jaman kekaisaran dahulu), yaitu Cuang Yuen, Hue Yuen, dan Cie Yuen.
- Pangsit atau Kiau Se (bentuknya dibuat mirip dengan uang perak zaman dahulu), memiliki makna mendatangkan rejeki. Terdapat juga tradisi yaitu mengisi salah satu di antara pangsit-pangsit tersebut dengan koin, dan barang siapa yang mendapatkan pangsit yang telah diisi dengan koin tersebut, maka akan mendapatkan rezeki yang besar.
Setelah bersantap malam bersama sekeluarga, para anggota keluarga akan begadang semalam suntuk dengan pintu dan jendela rumah yang dibuka lebar-lebar. Dengan pintu dan jendela rumah yang dibuka lebar-lebar tersebut, diharapkan rezeki dapat masuk ke dalam rumah dengan leluasa. Pada malam Imlek ini juga dihidangkan camilan khas imlek yaitu kuaci, kacang, dan permen. Ada yang menyebutkan bahwa selain persembahan yang berupa kue dan makanan tersebut, juga akan dikenakan pakaian tidur sekaligus pakaian dalam yang masih baru. Pakaian tidur yang masih baru ini biasanya berwarna merah. Hal ini bertujuan untuk membuang kesialan di tahun yang lalu.
Di Tiongkok sendiri, Rakyat Tiongkok secara tradisi tidak tidur pada malam Imlek. Perayaan Tahun Baru Imlek diwarnai dengan suasana riang gembira dan adanya kegiatan-kegiatan yang beranekaragam, antara lain pertunjukan opera, tari naga atau barongsai, jakungan, pekan kelenteng dan sebagainya. Tradisi lain yang sering dilakukan Masyarakat Tionghoa dalam merayakan Tahun Baru Imlek adalah memasang kuplet, gambar tahun baru, dan lampion yang berwarna-warni. Bagi rakyat Tiongkok yang taraf hidupnya dapat dikatakan di atas rata-rata, tidak jarang merayakan Tahun Baru Imlek dengan berekreasi ke luar negeri.
Pada hari pertama di Tahun Baru Imlek, semua anggota keluarga akan bangun pagi-pagi. Mereka akan melakukan sembahyang untuk para leluhur di altar rumah. Pada ritual sembahyang ini, mereka menyajikan makanan, minuman, dan buah di altar almarhum dan almarhumah. Kehadiran bunga sedap malam di altar leluhur pun turut melengkapi perayaan Tahun Baru Imlek. Bunga sedap malam ini, kata Budi, bertujuan untuk mengingatkan kita agar terus tertekad berlaku baik dan harum bak bunga sedap malam. Sementara bagi yang tidak terdapat altar di rumahnya, mereka akan pergi ke klenteng untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas perlindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Masih menurut Budi, “sembahyang leluhur bukanlah tradisi tanpa makna. Ini menunjukkan bakti kepada orangtua, yang tidak hanya merawat dan menjaganya hingga meninggal, tetapi juga setelah meninggal. Ini mengingatkan bahwa kita berada di dunia ini tidak semata-mata karena Tuhan, tetapi juga orangtua”. Kegiatan bakti kepada leluhur inipun juga telah dilakukan sebelum Tahun Baru Imlek datang, yaitu Masyarakat Tionghoa umumnya turut bahu-membahu membersihkan makam para leluhurnya.
Dalam setiap sembahyang Imlek, minimal disajikan 12 macam masakan dan 12 macam kue. Ada juga yang menyebutkan bahwa Imlek berasal dari kebudayaan petani sehingga persembahan dalam sembahyang Imlek tersebut berupa berbagai jenis makanan (hasil pertanian). Macam makanan dan macam kue yang masing-masing berjumlah 12 tersebut, mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di Tiongkok, hidangan yang wajib antara lain siu mi atau mie panjang umur dan arak. Hidangan tersebut disusun di meja sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya bergambar naga berwarna merah. Kemudian para anggota keluarga berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan tersebut.
Kue-kue yang disajikan tersebut antara lain kue nastar, kue semprit, kue mawar, serta manisan kolang-kaling. Agar-agar yang dicetak seperti bintang pun juga dihidangkan, yang mana memiliki makna kehidupan yang terang. Terkait tradisi santap kue lapis, jeruk, kue keranjang, ikan bandeng, Budi menilai hal ini tidak lain hasil interaksi budaya Tiongkok dengan masyarakat lokal. Kue keranjang atau nian gao disebut-sebut berkaitan dengan harapan agar rezeki selama satu tahun mendatang manis. Nian sendiri berarti tahun sedangkan gao berarti kue, yang juga terdengar seperti kata tinggi. Oleh karena itu, kue keranjang secara tradisi disusun ke atas atau bertingkat, Makin ke atas makin mengecil kue itu, dan bagian atasnya terdapat kue mangkok berwarna merah, yang memiliki makna kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok. Pada zaman dahulu, banyaknya atau tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah. Selain itu terdapat juga kue yang biasanya dihidangkan yaitu kue lapis, yang memiliki makna rezeki yang berlapis-lapis. Kue-kue tersebut dihidangkan lebih manis daripada biasanya. Hal ini mempunyai makna bahwa kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis.
Sementara itu menurut Yu le, seorang pengurus Klenteng Petak Sembilan di Glodok, Jakarta, menyebutkan bahwa terdapat makanan yang biasa dihidangkan dan memiliki makna, yaitu :
1. Ikan bandeng.
Di Tiongkok sendiri, Rakyat Tiongkok secara tradisi tidak tidur pada malam Imlek. Perayaan Tahun Baru Imlek diwarnai dengan suasana riang gembira dan adanya kegiatan-kegiatan yang beranekaragam, antara lain pertunjukan opera, tari naga atau barongsai, jakungan, pekan kelenteng dan sebagainya. Tradisi lain yang sering dilakukan Masyarakat Tionghoa dalam merayakan Tahun Baru Imlek adalah memasang kuplet, gambar tahun baru, dan lampion yang berwarna-warni. Bagi rakyat Tiongkok yang taraf hidupnya dapat dikatakan di atas rata-rata, tidak jarang merayakan Tahun Baru Imlek dengan berekreasi ke luar negeri.
3. HARI PERTAMA TAHUN BARU.
Pada hari pertama di Tahun Baru Imlek, semua anggota keluarga akan bangun pagi-pagi. Mereka akan melakukan sembahyang untuk para leluhur di altar rumah. Pada ritual sembahyang ini, mereka menyajikan makanan, minuman, dan buah di altar almarhum dan almarhumah. Kehadiran bunga sedap malam di altar leluhur pun turut melengkapi perayaan Tahun Baru Imlek. Bunga sedap malam ini, kata Budi, bertujuan untuk mengingatkan kita agar terus tertekad berlaku baik dan harum bak bunga sedap malam. Sementara bagi yang tidak terdapat altar di rumahnya, mereka akan pergi ke klenteng untuk sembahyang mengucapkan terima kasih atas perlindungan Thien (Tuhan) sepanjang tahun. Masih menurut Budi, “sembahyang leluhur bukanlah tradisi tanpa makna. Ini menunjukkan bakti kepada orangtua, yang tidak hanya merawat dan menjaganya hingga meninggal, tetapi juga setelah meninggal. Ini mengingatkan bahwa kita berada di dunia ini tidak semata-mata karena Tuhan, tetapi juga orangtua”. Kegiatan bakti kepada leluhur inipun juga telah dilakukan sebelum Tahun Baru Imlek datang, yaitu Masyarakat Tionghoa umumnya turut bahu-membahu membersihkan makam para leluhurnya.
Dalam setiap sembahyang Imlek, minimal disajikan 12 macam masakan dan 12 macam kue. Ada juga yang menyebutkan bahwa Imlek berasal dari kebudayaan petani sehingga persembahan dalam sembahyang Imlek tersebut berupa berbagai jenis makanan (hasil pertanian). Macam makanan dan macam kue yang masing-masing berjumlah 12 tersebut, mewakili lambang-lambang shio yang berjumlah 12. Di Tiongkok, hidangan yang wajib antara lain siu mi atau mie panjang umur dan arak. Hidangan tersebut disusun di meja sembahyang yang bagian depannya digantungi dengan kain khusus yang biasanya bergambar naga berwarna merah. Kemudian para anggota keluarga berdoa memanggil para leluhurnya untuk menyantap hidangan yang disuguhkan tersebut.
Kue-kue yang disajikan tersebut antara lain kue nastar, kue semprit, kue mawar, serta manisan kolang-kaling. Agar-agar yang dicetak seperti bintang pun juga dihidangkan, yang mana memiliki makna kehidupan yang terang. Terkait tradisi santap kue lapis, jeruk, kue keranjang, ikan bandeng, Budi menilai hal ini tidak lain hasil interaksi budaya Tiongkok dengan masyarakat lokal. Kue keranjang atau nian gao disebut-sebut berkaitan dengan harapan agar rezeki selama satu tahun mendatang manis. Nian sendiri berarti tahun sedangkan gao berarti kue, yang juga terdengar seperti kata tinggi. Oleh karena itu, kue keranjang secara tradisi disusun ke atas atau bertingkat, Makin ke atas makin mengecil kue itu, dan bagian atasnya terdapat kue mangkok berwarna merah, yang memiliki makna kehidupan manis yang kian menanjak dan mekar seperti kue mangkok. Pada zaman dahulu, banyaknya atau tingginya kue keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah. Selain itu terdapat juga kue yang biasanya dihidangkan yaitu kue lapis, yang memiliki makna rezeki yang berlapis-lapis. Kue-kue tersebut dihidangkan lebih manis daripada biasanya. Hal ini mempunyai makna bahwa kehidupan di tahun mendatang menjadi lebih manis.
Sementara itu menurut Yu le, seorang pengurus Klenteng Petak Sembilan di Glodok, Jakarta, menyebutkan bahwa terdapat makanan yang biasa dihidangkan dan memiliki makna, yaitu :
1. Ikan bandeng.
Dihubungkan sebagai perlambang rezeki karena dalam logat Mandarin, kata 'ikan' sama bunyinya dengan kata yu yang berarti rezeki. Bandeng itu ikan. Artinya, tiap tahun ada lebihnya uang atau rezeki.
2. Buah-buahan.
Buah-buahan yang wajib adalah pisang raja atau pisang emas, yang mempunyai makna emas (kemakmuran atau keuntungan yang besar). Begitu pula dengan jeruk kuning dan diusahakan yang ada daunnya. Ini juga mempunyai makna kemakmuran yang akan selalu tumbuh terus. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keuntungan yang besar dan terus-menerus.
Ada juga yang menyebutkan terdapat pula nampan kebersamaan, yaitu nampan berbentuk bulat atau segi delapan yang berisi permen, kacang-kacangan, biji-bijian, atau buah-buahan kering. Selain itu juga terdapat pantangan maupun makanan yang tidak boleh dihidangkan. Makanan yang tidak boleh dihidangkan yaitu bubur. Bubur ini memiliki makna kemiskinan. Sementara beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan antara lain :
- Menyapu dan Membuang sampah, yang mempunyai makna akan mengusir rejeki keluar rumah bila dilakukan.
- Bertengkar atau mengeluarkan kata-kata fitnah dan memecahkan piring. Namun jika kebetulan secara tidak sengaja ada piring atau mangkok yang pecah, untuk penangkalnya harus cepat-cepat mengucapkan Sue sue Phing an yang artinya setiap tahun tetap selamat.
Setelah melakukan sembahyang kepada para leluhur, mereka yang muda memberikan hormat dan menyalami kepada orang yang lebih tua. Selain itu, mereka juga saling mengunjungi sanak keluarga dan kerabat dekat.
4. HARI KEDUA TAHUN BARU.
Pada hari kedua Tahun Baru Imlek ini, ritual yang diadakan yaitu hue niang cia atau pulang ke rumah ibu. Pada hari kedua ini, bagi wanita yang telah menikah akan pulang ke rumah ibunya dengan membawa Teng Lu yang merupakan bingkisan atau angpao (kantong merah kecil yang berisi uang) untuk ibu dan adik-adiknya. Secara tradisi Angpao atau Hung pau juga diberikan kepada anak-anak dan orang tua. Ada juga yang menyebutkan juga bahwa angpao diberikan oleh seseorang yang telah menikah kepada orang yang lebih muda dan belum menikah.
5. HARI KETIGA TAHUN BARU.
Pada hari ketiga ini tidak terdapat aktivitas yang berarti. Masyarakat Tionghoa lebih banyak berada di rumah dan tidak banyak melakukan aktivitas maupun perjalanan. Hari ketiga ini bisa juga dimanfaatkan untuk beristirahat setelah beberapa hari melakukan ritual penyambuan Tahun Baru Imlek.
6. HARI KEEMPAT TAHUN BARU.
Pada hari keempat ini, ritual yang dilakukan adalah penyambutan para dewa yang kembali turun ke bumi. Menurut kepercayaan, Dewa Dapur atau Co Kun Kong dan para dewa dari langit kembali turun ke Bumi pada hari keempat Tahun Baru Imlek ini. Pada hari kedatangan kembali para dewa-dewi ini, khususnya kedatangan kembali Dewa Dapur, Masyarakat Tionghoa menyambutnya dengan bunyi-bunyian antara lain dengan kentongan. Masyarakat Tionghoa biasanya ke klenteng untuk Hi Fuk atau memohon kepada dewa untuk mendapatkan perlindungan dan rejeki. Sesaji yang dibawa biasanya berupa buah-buahan, ciu cha (arak), dan teh.
7. HARI KETUJUH TAHUN BARU.
Pada hari ketujuh ini dilakukan sembahyang kepada Sang Pencipta. Tujuan dari sembahyang ini adalah bersujud dan memohon kepada Sang Pencipta agar diberikan kehidupan yang lebih baik di tahun baru yang baru dimasuki ini.
8. HARI RAYA CAP GO MEH.
Hari Raya Cap Go Meh atau Yuan Xiaojie jatuh pada tanggal 15 bulan pertama Imlek. Cap Go Meh, yang menandakan akhir dari perayaan Tahun Baru Imlek ini, juga merupakan malam bulan purnama pertama pada setiap tahun. Pada malam ini, Masyarakat Tiongkok secara tradisi memasang lampion berwarna-warni yang kebanyakan dibuat dari kertas berwarna terang. Oleh karena itu hari raya ini sering juga disebut sebagai Hari Raya Lampion.
Adanya festival lampion pada Hari Raya Cap Go Meh ini memiliki sejarah tersendiri. Konon pada tahun 180 SM, tepatnya pada masa Dinasti Han Barat, Kaisar Han Wendi atau Hanwudi naik tahta pada tanggal 15 bulan pertama Imlek. Dalam rangka merayakan naik tahta ini, Kaisar Han Wendi menetapkan tanggal 15 bulan pertama Imlek sebagai hari raya lampion. Pada malam tanggal 15 bulan pertama setiap tahun, sang kaisar mempunyai kebiasaan keluar istana untuk berjalan-jalan dan merayakan festival lampion ini bersama-sama dengan rakyat. Barulah pada tahun 104 SM, Hari Raya Cap Go Meh atau festival lampion ini secara resmi ditetapkan sebagai hari raya nasional. Setelah penetapan ini, dibuat pula peraturan bahwa setiap tempat umum dan setiap keluarga diharuskan memasang lampion berwarna-warni. Pameran festival lampion secara besar-besaran dan tarian lampion naga pun digelar di jalan-jalan utama dan pusat kebudayaan. Hal inipun disambut dengan antusias masyarakat yang begitu besar untuk menyaksikan festival tersebut.
Salah satu jenis lampion yang paling menarik adalah
lampion kuda berlari. Ada yang menyebutkan bahwa lampion ini merupakan
lampion bersejarah dan telah ada sejak seribu tahun yang lalu. Sementara itu menurut catatan kitab sejarah, lampion yang paling spektakuler adalah Lampion Aoshandeng yang dibuat pada masa Dinasti Song abad ke-10. Nama Aoshandeng sendiri berasal dari kata Aoshan, yaitu gunung tinggi di lautan. Dalam dongeng kuno diceritakan bahwa gunung Aoshan ini terapung-apung mengikuti gelombang laut. Sebagai upaya untuk membuat Gunung Aoshan dapat berdiri stabil, maka Kaisar Khayangan memerintahkan 15 ekor kura-kura untuk menyokongnya. Rakyat Dinasti Song pun merancang lampion Aoshan secara besar-besaran dengan beberapa kura-kura berukuran besar yang menggendongnya. Di atas gunung itu dinyalakan ribuan lampion dan di atas permukaan lampion-lampion itu dihiasi batu, pohon, patung, dan lukisan. Selain itu, di atas gunung lampion tersebut juga dimainkan musik oleh para pemusik. Kemudian di depan gunung itu juga dibangun sebuah panggung untuk menggelar pertunjukan tari.
Selain festival lampion, hal yang paling mencolok lainnya pada hari raya Cap Go Meh adalah makan onde-onde. Tradisi makan onde-onde sudah dimulai sejak masa Dinasti Song (960 – 1279 M). Onde-onde sendiri adalah jenis makanan yang terbuat dari tepung beras ketan dan selai buah. Di Tiongkok sendiri penyebutan dari jenis makanan yang menggugah selera ini berbeda-beda. Masyarakat Tiongkok di bagian utara menyebutnya dengan yuanxiao, sementara di bagian selatan menyebutnya dengan tangyua. Cara pembuatan jenis makanan inipun berbeda-beda di masing-masing tempat sehingga jenis onde-onde sekarang pun sangat bervariasi. Pada hari raya Cap Go Meh di Tiongkok sendiri terdapat kegiatan hiburan lainnya, antara lain jangkungan, tari yangge (semacam tarian khas bagian utara Tiongkok), dan pertunjukan tari singa. Sementara itu Masyarakat Tionghoa di Semarang, jawa Tengah, merayakannya dengan menghidangkan lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang, sedangkan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, merayakannya dengan menghidangkan lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai.
Itulah tradisi ritual rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek yang berlangsung selama sekitar 21 hari (3 minggu) dari Shang Sheng (sebelum tahun baru) hingga Cap Go Meh (15 hari setelah tahun baru). Inti dari perayaan Tahun Baru Imlek itu sendiri adalah sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Sekarang ini banyak juga Masyarakat Tionghoa yang kurang mengetahui rangkaian ritual dan makna dari perayaan Tahun Baru Imlek itu sendiri. Cara merayakan Tahun Baru Imlek di masing-masing tempat pun dewasa ini berbeda-beda seiring dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, Tahun Baru Imlek tetaplah menjadi suatu perayaan yang besar dan paling bermakna bagi Masyarakat Tionghoa.
Hal yang terpenting dalam merayakannya bukanlah sekedar pesta yang meriah, melainkan berdoa dan menghaturkan persembahan kepada Thien (tuhan) dan para leluhur. Melestarikan tradisi dan budaya adalah hal yang harus tetap dijaga agar tradisi dan budaya yang diwariskan oleh para leluhur atau nenek moyang tidak menghilang atau punah. Memenangkan perdebatan apakah Imlek itu berasal dari kebudayaan atau agama bukanlah hal yang mesti dikedepankan, toh Masyarakat Tionghoa dan bukan Masyarakat Tionghoa dengan latar belakang agama yang berlainan turut hanyut dalam perayaan Tahun Baru Imlek. Persatuan dan kesatuan adalah hal yang mesti diutamakan agar tercipta kehidupan yang damai dan sejahtera.
Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembaca yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mempelajari salah satu kebudayaan dunia yaitu perayaan Tahun Baru Imlek. Penulis pun menghaturkan mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan banyak kekurangan dalam menulis kebudayaan Tahun Baru Imlek ini. Inipun tidak lepas karena penulis sendiri bukanlah berasal dari Masyarakat Tionghoa dan hanyalah seorang manusia biasa yang mencintai kebudayaan.
Selain festival lampion, hal yang paling mencolok lainnya pada hari raya Cap Go Meh adalah makan onde-onde. Tradisi makan onde-onde sudah dimulai sejak masa Dinasti Song (960 – 1279 M). Onde-onde sendiri adalah jenis makanan yang terbuat dari tepung beras ketan dan selai buah. Di Tiongkok sendiri penyebutan dari jenis makanan yang menggugah selera ini berbeda-beda. Masyarakat Tiongkok di bagian utara menyebutnya dengan yuanxiao, sementara di bagian selatan menyebutnya dengan tangyua. Cara pembuatan jenis makanan inipun berbeda-beda di masing-masing tempat sehingga jenis onde-onde sekarang pun sangat bervariasi. Pada hari raya Cap Go Meh di Tiongkok sendiri terdapat kegiatan hiburan lainnya, antara lain jangkungan, tari yangge (semacam tarian khas bagian utara Tiongkok), dan pertunjukan tari singa. Sementara itu Masyarakat Tionghoa di Semarang, jawa Tengah, merayakannya dengan menghidangkan lontong, opor ayam, lodeh terung, telur pindang, sate abing, dan sambal docang, sedangkan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, merayakannya dengan menghidangkan lontong, sayur godog, telur pindang, dan bubuk kedelai.
Itulah tradisi ritual rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek yang berlangsung selama sekitar 21 hari (3 minggu) dari Shang Sheng (sebelum tahun baru) hingga Cap Go Meh (15 hari setelah tahun baru). Inti dari perayaan Tahun Baru Imlek itu sendiri adalah sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Sekarang ini banyak juga Masyarakat Tionghoa yang kurang mengetahui rangkaian ritual dan makna dari perayaan Tahun Baru Imlek itu sendiri. Cara merayakan Tahun Baru Imlek di masing-masing tempat pun dewasa ini berbeda-beda seiring dengan perkembangan zaman. Meskipun demikian, Tahun Baru Imlek tetaplah menjadi suatu perayaan yang besar dan paling bermakna bagi Masyarakat Tionghoa.
Hal yang terpenting dalam merayakannya bukanlah sekedar pesta yang meriah, melainkan berdoa dan menghaturkan persembahan kepada Thien (tuhan) dan para leluhur. Melestarikan tradisi dan budaya adalah hal yang harus tetap dijaga agar tradisi dan budaya yang diwariskan oleh para leluhur atau nenek moyang tidak menghilang atau punah. Memenangkan perdebatan apakah Imlek itu berasal dari kebudayaan atau agama bukanlah hal yang mesti dikedepankan, toh Masyarakat Tionghoa dan bukan Masyarakat Tionghoa dengan latar belakang agama yang berlainan turut hanyut dalam perayaan Tahun Baru Imlek. Persatuan dan kesatuan adalah hal yang mesti diutamakan agar tercipta kehidupan yang damai dan sejahtera.
Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembaca yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mempelajari salah satu kebudayaan dunia yaitu perayaan Tahun Baru Imlek. Penulis pun menghaturkan mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan banyak kekurangan dalam menulis kebudayaan Tahun Baru Imlek ini. Inipun tidak lepas karena penulis sendiri bukanlah berasal dari Masyarakat Tionghoa dan hanyalah seorang manusia biasa yang mencintai kebudayaan.
Sumber :




Wahh.., bagus nih bwt pelajaran Budnus, hahaha... :p
BalasHapusSalam
awanalert.blogspot.com